Pengikut

[CERPEN] DERITA ANAK PRAMUNIKMAT

>> Jumat, 21 September 2018

Di salah satu sudut Kota Hujan, di mana kebanyakan orang sudah terlelap dalam tidurnya. Di sana justru berbeda, semakin malam semakin riuh. Suara hingar-bingar musik dilengkapi lampu kerlap-kerlip, memecah keheningan malam.

Seorang perempuan belia usia sekitar delapan belas tahun, sebut sajalah ia Kenanga, sedang duduk dengan perut besarnya di depan sebuah kamar.

Wajahnya ayu khas Tanah Pasundan dengan rambut bercat kecoklatan tergerai bebas, dilengkapi make-up flawless, dan bibir ranum berhias lipstik matte menggoda. Celana pendek sedengkul dan jaket tipis menutupi tubuh montoknya. 

Kulit mulusnya yang kuning langsat makin menambah daya tariknya.
Jika diperhatikan dari ukuran perutnya yang membuncit, usia kehamilan Kenanga mungkin sudah memasuki enam atau tujuh bulan. Tapi, mengapa dia duduk santai malam-malam begini di tempat tak pantas itu, dengan bau asap rokok yang sangat tajam. Tentu tak baik untuk kesehatannya dan calon bayinya.

Sungguh kehidupan yang jauh dari normal. Dengan kondisinya yang seperti itu, ia tetap harus mengais rupiah. Semua berawal dari rumah tangganya yang hanya seumur jagung. Suaminya dulu meninggalkannya entah kemana.

Sayangnya, kehamilannya saat ini pun bukan dari suami sahnya. Dia sendiri pun tak yakin laki-laki mana yang seharusnya menjadi bapak bagi si calon bayi. Sudah begitu banyak lelaki hidung belang yang telah menikmati tubuhnya.

“Neng, aya tatamu sudah menunggu di kafe. ”

Seorang laki-laki paruh baya mendatangi Kenanga, dialah calo pencari tamu bagi perempuan-perempuan muda penjaja kenikmatan di kawasan lokalisasi itu.

“Sudah Abah kasi tau urang lagi bunting?”

“Sudah atuh, Neng. Biasa … cari susu seger spesial katanya.”

Laki-laki yang biasa dipanggil Abah itu memelototkan matanya ke bagian tubuh sensitif Kenanga.

“Sudah dikasi tau tipsnya plus-plus, Bah?”

“Sudah pasti atuh, Geulis.”

“Oh … ya udah. Bawa langsung kesini aja, Bah. “

Kenanga mengubah posisi duduknya, perut buncitnya mulai terasa begah.

“Siplah Neng kalo begitu … jangan lupa komisi buat Abah ya.”

Laki-laki tua itu berlalu sambil tersenyum membayangkan lembaran uang yang akan segera didapatnya. Sepertinya tak terbersit sedikit pun rasa takut akan dosa di wajah gelapnya itu.

Dunia kelam prostitusi dikenal Kenanga dari teman sekampungnya. Beralasan ingin hidup enak tanpa mau bekerja keras adalah alasan terkuat perempuan itu untuk menerima ajakan mencemplungkan diri ke lembah nista.

Dielusnya perut yang bergerak-gerak karena tendangan si jabang bayi. Untuk persiapan biaya kelahiran anaknya itu pula, yang membuat Kenanga tetap semangat menjalankan pekerjaan maksiat itu.

Tak banyak orang tahu, jika banyak di antara kaum hidung belang pecandu seks komersil, sengaja mencari gadis-gadis peramu syahwat yang sedang hamil dan menyusui. Hanya untuk merasakan sensasi yang luar biasa. Mereka merasa bosan hanya melampiaskan napsunya ke gadis-gadis biasa.

Benar-benar laknat. Perempuan-perempuan komersil yang sedang hamil dan menyusui itu dengan teganya dieksploitasi hanya untuk memuaskan napsu birahi mereka.

Yang lebih kejamnya lagi, bayi-bayi yang dilahirkan di kawasan lokalisasi itu tak diberikan hak untuk menyusu pada ibu mereka. Susu formula lah sebagai penggantinya, entah siapa yang mengasuh mereka pun tak jelas.

Sedangkan ASI, hak mutlak seorang bayi itu malah disedot paksa oleh garong-garong kesetanan, untuk mendapatkan sensasi gila napsu bejat mereka. Benar-benar laknat.

“Selamat malam, Teh. “

Seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tahunan menyapa Kenanga dengan sopan.
Perempuan itu pun sedikit heran, karena laki-laki di hadapannya itu kelihatan sangat berbeda dengan para hidung belang yang biasa menjadi tamunya.

“Ayo A … langsung masuk aja. Di luar dingin.”

Kenanga membuka pintu kamarnya dan tamunya itu mengikutinya masuk.

“Aa orang mana? Apa baru pertama kesini?”

Tanya Kenanga sedikit berbasa-basi, sambil melepaskan jaket yang dikenakannya.

“Saya dari Bandung, ke Bogor karena ada sedikit pekerjaan. Kandungannya sudah besar ya …”

Tamu itu bertanya penuh simpati.

“Aa sepertinya orang baik-baik. Tidak seperti tamu-tamu saya biasanya. Mereka liar.”

Kenanga tersenyum, hatinya berdesir menatap laki-laki berwajah bersih di hadapannya. Tak terasa napsu binalnya pun muncul.

Didekatinya tubuh tegap yang masih berdiri di dekat pintu itu, meraih tangannya dan mendudukkannya di pinggir ranjang.

“Ohya … nama Aa siapa? Aa kasep … saya jadi inget suami saya dulu …”

Kenanga mendesah … terbayang laki-laki yang menikahinya dulu, tetapi entah kenapa ia pergi meninggalkannya begitu saja.

“Teteh gak perlu tau nama saya. Panggil saya Aa sudah cukup.”

“Ohya … berapa tarifnya, Teh?”

Kenanga tersenyum heran mendengar pertanyaan tamunya. Apa dia sudah tak sabar mencicipi tubuhku, pikirnya.

“Langsung aja ya, A. Waktu Aa ga lama … saya biasa ngelayanin sejam untuk satu orang.”

Kenanga sepertinya mulai bernapsu dengan tamu barunya itu. Ia mulai melepaskan satu persatu pakaian di tubuhnya hingga tinggal celana dalam dan bra saja.

“Sisanya Aa aja yang buka sendiri ya … “

Kenanga mendesah manja memancing syahwat tamunya.

Anehnya laki-laki itu tak bergeming. Masih saja duduk terpaku di pinggir ranjang, memperhatikan tingkah laku Kenanga.

“Aa mau nyusu aja atau mau main full? Beda tarifnya.”

“Berapa?”

Laki-laki itu mengernyitkan dahinya. 

Tak dipungkiri naluri kelaki-lakiannya bergejolak menyaksikan pemandangan indah di hadapannya. Dada montok khas ibu hamil, tubuh seksi dengan pinggul besar berisi, dan kulit mulusnya.

Andai saja dia juga seorang pecandu nikmat tak halal, pastilah sudah habis dilahapnya perempuan di hadapannya itu. Namun, ia harus menahan diri. Karena tujuannya ke tempat itu bukanlah untuk melampiaskan napsu birahi.

“Saya biasa sejam tiga ratus ribu, A. Kalau nyusu aja sih diskon jadi dua ratus ribu. Kalau full main plus nyusu biasanya empat ratus.”

“Emang sering Teh yang cuma nyusu aja?”

“Banyak A … kata mereka sih susu ASI bisa nambah stamina. Abis nyusu biasanya mereka cari awewe lain buat main. Kan yang suka main sama perempuan hamil cuma segelintir.”

“Oohh … gitu. Ini Teh saya kasi lima ratus.”

Laki-laki itu mengeluarkan lima lembaran merah dari dompetnya, kemudian di letakkannya di atas kasur.

“Ah Aa … baik banget. Jarang-jarang saya dapet tips plus gini. Berarti Aa mau main full plus nyusu ya? Hmmm …”

Kenanga sumringah, ia mulai berani bertindak nakal. Menghambur ke tamunya itu. Mendekapnya. Mendekatkan bibirnya ke telinga laki-laki itu sambil mendesah penuh gairah. Mulai memainkan tangan lembutnya ke area pribadi tamunya. Tiba-tiba …

“Maaf, Teh. Saya kemari bukan untuk esek-esek …”

Laki-laki itu melepaskan tangan Kenanga, dan ia pun mundur menjauh beberapa langkah.

“Maksud Aa?? Saya teh gak ngerti.”

“Saya kesini cuma untuk mendapatkan sedikit informasi dari Teteh.”

“Aa polisi ya?”

Kenanga bertanya sedikit takut.

“Bukan, Teh. Saya wartawan.”

“Oohh … “

Kenanga lega, walaupun sedikit kecewa karena napsu binalnya tak jadi tersalurkan.

“Teteh gak keberatan kan? Saya duduk di situ aja ya, Teh.”

Laki-laki itu memgambil kursi kayu di pojok kamar. Kenanga memperhatikannya. Muncul rasa malu di hatinya. Segera dikenakannya kembali pakaian yang tergeletak di atas lantai.

“Kenapa Aa gak bilang dari awal tadi?”

Kenanga malu-malu sambil membenarkan pakaiannya.

“Maaf ya, saya sudah mengecewakan Teteh. Saya takut Teteh tadi menolak kalau saya jelaskan dari awal.”

“Aa masih punya waktu setengah jam lagi. Sok mangga … Aa mau tanya apa aja, saya akan jawab semampu saya.”

Kenanga mengatur duduknya sesopan mungkin di depan laki-laki wartawan itu.

Laki-laki itu pun tak mau kehabisan waktu menggali informasi seputar kehidupan Kenanga dan lokalisasi yang menaunginya. Banyak pertanyaan diajukannya. Semua dijawab oleh Kenanga dengan santai dan nyaman.

“Yang Teteh kandung sekarang nanti akan dirawat sendiri atau bagaimana?”

“Rencananya akan saya titipkan ke Ambu di kampung. Walau hidup saya seperti ini, saya gak mau anak saya hidupnya juga kelam seperti saya. Saya ingin dia hidup normal. Sukur-sukur bisa jadi anak soleh/soleha …”

“Aamiin … insyaAllah bisa Teh.”

“Teteh apa tidak berpikir untuk keluar dari kehidupan sekarang? Emm … punya suami dan hidup normal.”

Kenanga terpana mendengar ucapan wartawan itu, serasa ada yang membasahi hatinya yang telah lama gersang.

“Apa perempuan hina seperti saya masih layak menjadi perempuan baik-baik? Mana ada laki-laki baik juga yang mau memperistri saya. Semua hanya ingin menikmati tubuh saya saja, A …”

“Tidak semua laki-laki begitu, Teh. Kalau Teteh berniat keluar dari kehidupan sekarang dan bertobat. InsyaAllah masih banyak pekerjaan halal di luar sana. Semua butuh proses, tidak bisa instan.”

Tak terasa kedua pipi Kenanga terasa hangat, bulir-bulir itu kian deras menetes dari pelupuk mata. Tubuhnya bergetar-getar karena isak tangis yang tertahan.

“Menangislah, Teh. Tangis itu pertanda kita masih sadar akan dosa-dosa. Allah Maha Pengampun bagi hambaNya yang sunggu-sungguh bertobat.”

Kenanga semakin tersedu-sedan. Terbayang dulu ia adalah gadis desa polos yang pintar mengaji. Oh … Abah. Oh … Ambu. Aku ingin pulang. Hati Kenanga menjerit.

“Tolong bantu saya, A …”

“InsyaAllah, Teh.”

Kenanga tersenyum dalam isaknya, hatinya lega. Masih ada secercah harapan baginya dan buah hatinya kelak.

***

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).

●●●

Cerpen ini terinspirasi dari berita di surat kabar online yang saya baca.
Jangan lihat sisi sensualnya, tapi setiap orang punya kesempatan untuk bertobat.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP